Apa itu candlestick? Bagi yang belum tau bisa baca
di sini
Sejarah tentang candlestick ini berasal dari Munehisa Homma, seseorang pengusaha beras di Jepang pada abad ke 18 yang paling tercatat dalam peristiwa tentang memperkirakan pergerakan dari harga beras pada masanya dan masa yang belum terjadi dengan berpatokan pada harga-harga yang telah lalu.
Mulai di Era Shogun Tokugawa.
Kira-kira pada penghujung tahun 1500-an hingga pertengahan 1700-an Jepang terdiri dari 60
propinsi dan bersatu menjadi sebuah Negara dengan jalur perniagaan yang berkembang pesat.
Pada kurun waktu tahun 1500 sampai 1600, Jepang merupakan negara yang berkecamuk dalam peperangan antara Daimyo (yang artinya “Tuan Feodal” ) yang satu dengan Daimyo lainnya dalam hal perebutan wilayah kekuasaan yang berdekatan. Jaman yang tak teratur ini kemudian disebut sebagai “Jaman Peperangan Negara” atau yang dikenal dalam bahasa Jepang dengan “Sengoku Jidai”.
Di suatu hari awal-awal tahun 1600-an munculah 3 orang Jenderal luar biasa yang tercatat dalam sejarah besar Jepang yaitu bernama Hideyoshi Toyotomi, Nobunaga Oda, dan Ieyasu Tokugawa yang merupakan pemenang yang berhasil menyatukan Jepang selama 40 tahun ke depan. Prestasi dan kisah yang mereka munculkan kemudian tetap diperingati dalam sejarah dan adat-istiadat orang-orang Jepang.
Beberapa orang Jepang mengistilahkan : “Nobunaga yang menumbuk padi, Hideyoshi yang mengaduk adonan, kemudian Tokugawa lah yang memakan kuenya”. Dengan kata lain bahwa ketiga Jenderal inilah yang sangat berperan besar dalam proses menyatukan Jepang meski dalam cara peperangan, tetapi Tokugawa lah orang terakhir dari ketiga Jenderal hebat ini yang kemudian berhasil menjadi seseorang Shogun. Garis keturunan Shogun Tokugawa inilah yang kemudian memerintah Negara Jepang dari tahun 1615 sampai 1867.
Di dalam era kepemimpinannyalah strategi kemiliteran yang diterapkannya yang kemudian menciptakan kejayaan Jepang selama berabad-abad kemudian telah menjadi bagian awal dalam terminology Candlestick ini.
Kemampuan dalam hal strategi, kompetisi, psikologi, strategi untuk membalikkan keadaan dan keberuntungan menjadi sebuah kebutuhan dalam memenangkan peperangan. Jadi taklah mengherankan kalau dalam ilmu candle stick terkenal juga istilah “Advancing Three Soldiers Pattern”, “Counter Attack Lines”, dan lain sebagainya.
Stabilitas relatif dari sistem pemerintahan utama Jepang yang dipimpin oleh Tokugawa ini menawarkan sebuah peluang baru. Perekonomian agraris masyarakat berkembang pesat dan yang terpenting terjadi pengembangan dan kemudahan dalam arus perdagangan domestik.
Perdagangan beras dan kupon beras.
Pada abad ke 17 di Jepang perdagangan nasional lambat laun mulai menggantikan sistem perdagangan lokal market yang terisolasi. Konsep perdagangan terpusat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari analisis tekhnikal di Jepang.
Sebelum tahun 1710, rata-rata rakyat Jepang melaksanakan transaksi perdagangan beras memakai cara menukarkan beras dengan beras asli lainnya. Model transaksi yang terjadi ialah mereka menawar, kemudian menambah penukaran beras, lalu menentukan harga market.
Seiring dengan perkembangan jaman dan pergeseran bentuk bertransaksi hingga di tahun 1710, perdagangan beras ini kemudian mulailah memakai suatu tanda terima yang dikenal dengan nama kupon beras. Tanda terima beras inilah yang kemudian menjadi kontrak pertama kali di antara para trader.
Perdagangan beras pada saat itu telah menjadi dasar dari kemakmuran yang ada di kota Osaka, yang mana terdapat sekitar lebih dari 1.300 distributor beras yang tersebar di seantero negeri.
Pada zaman itu, selain tak mempunyai nilai mata uang yang terstandar (kondisi pada saat itu adalah kegagalan sebuah masa peralihan dari mata uang koin menjadi alat tukar lainnya), beraslah yang menjadi alat penukaran defakto menengah.
Jika seseorang Daimyo ada yang sedang membutuhkan uang, maka ia akan mengirimkan kelebihan beras yang dimilikinya ke Osaka untuk kemudian akan disimpan di dalam gudang dengan memakai label namanya, lalu kemudian ia akan menerima kupon beras tadi sebagai tanda terimanya. Ia pun bisa menjual kuponnya tersebut setiap saat ia butuh.
Berhubung karena adanya masalah pajak yang sering dirasakan oleh para daimyo, kemudian mereka pun seringkali menjual kupon berasnya untuk menghindar dari beban pajak pengiriman beras berikutnya dari pemerintah ( kira-kira pajaknya 40% – 60% yang mesti ditanggung oleh para Daimyo sesuai dengan hasil panennya dan dibayar dalam bentuk beras).
Bersamaan dengan adanya sistem kupon ini, terbentuklah sebuah solusi yang sangatlah efektif untuk dijalankan dalam perdagangan. Kupon-kupon beras yang tadi dijual untuk mengelaki pajak pengiriman berikutnya inilah yang kemudian dikenal sebagai “world first future contract.” Kupon beras biasanya disebut sebagai kupon “beras kosong” (di mana beras sebenarnya tak dimiliki dalam bentuk fisik).
Munehisa Homma
Dari latar belakang sejarah ini lalu kemudian munculah seseorang yang bernama Munehisa Homma (hidup tahun 1724 – 1803).
Homma ini merupakan anak bungsu dari seseorang saudagar kaya-raya di Jepang. Ia yang kemudian ditunjuk untuk melanjutkan warisan bisnis keluarganya pada tahun 1750. Homma memulai aktivitas perdagang berasnya dalam perdagangan lokal di kota pelabuhan bernama Sakata yang merupakan area pusat untuk pengumpulan dan pendistribusian beras.
Dalam dunia candle stick terdapat sebuah istilah yang disebut “Sakata’s rules”, sebutan ini ditujukan kepada Homma atas kepiawainya dalam membaca pergerakan market. Dari hal tersebut pula lah kemudian Homma juga dikenal sebagai “God of the market.” Memakai modal pengetahuannya ini lah Homma lalu terjun ke dalam transaksi perdagangan beras paling besar yang ada di Osaka yakninya di wilayah Dojima dan memulai transaksi perdagangan berasnya hingga dia menjadi sangat populer di masa depan.
Kekuasaan Homma lalu jadi sangat mempengaruhi harga marketan beras. Ia mengumpulkan berbagai laporan cuaca tahunan dan kemudian melakukan analisis transaksi perdagangan beras di Yodoya (perdagangan beras Dojima terdapat di Osaka ) demi untuk mempelajari kondisi psikologis dari para investor.
Bahkan ia sampai menempatkan beberapa pekerjanya di atas atap dengan bendera yang berfungsi untuk mengirimkan sinyal perdagangan dari Osaka hingga Sakata. Lewat ketekunan dan keteladanannya, kemudian ia berhasil mendominasi perdagangan di Osaka. Setelah itu, Homma pun mulai mengembangkan kitabnya di dalam market Regional wilayah Edo (yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo).
Keuntungan yang didapatkannya sangatlah berlipat ganda, bahkan konon banyak sekali yang mengatakan bahwa laba yang didapat oleh Homma pernah mencapai angka 100 kali berturut-turut.
Nama besar dan rasa hormat dari orang-orang di wilayah Edo kepada Homma dituangkan dalam sebuah lagu :
“Jikalau di Sakata (kota tempat tinggal Homma) tampak bersinar, maka berawan lah di Dojima (perdagangan beras Dojima terdapat di Osaka ) dan hujan lah di Kuremae (perdagangan Kuremae terdapat di Edo ).”
Dengan kata lain, jikalau terdapat panen beras yang bagus di Sakata, maka harga beras pun turun di market perdagangan beras Dojima, dan harga beras di Edo pun jatuh. Lagu ini menceritakan betapa besarnya efek dari kekuasaan yang dimiliki Homma dan strateginya dalam market perdagangan beras.
Ke depannya Homma diangkat menjadi konsultan bagi pemerintah dan mendapatkan gelar samurai. Ia wafat di tahun 1803, tetapi sebelum meninggal Homma pun sempat menulis sebuah buku yang diperkirakan ditulis pada tahun 1700 an yang berjudul “Sakata Senho dan Soba Sani No Den.” Buku ini menceritakan mengenai seluk-beluk prinsipnya dalam berdagang, seperti yang pernah ia terapkan dalam perdagangan beras.
Buku tersebut sangatlah mempengaruhii metodologi dan sejarah candlestick di Jepang dan hingga sekarang telah menjadi suatu jenis metode paling terpercaya dalam analisa transaksi bursa saham melalui pendekatan analisis tekhnikal.
Demikianlah sejarah candlestick tercipta.